Jumat, 29 November 2013

PENGARUH PROFESIONALISME AUDITOR TERHADAP TINGKAT MATERIALITAS DAN RISIKO AUDIT



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Masyarakat kita telah memberikan pengertian khusus atas istilah profesional. Seorang profesional diharapkan dapat berperilaku pada tingkat yang lebih tinggi dari yang dilakukan oleh sebagian besar anggota masyarakat lain. Sebagai contoh, ketika pers memberikan bahwa seorang dokter, biarawan, senator, atau akuntan publik telah didakwa melakukan suatu kejahatan, mayoritas masyarakat akan merasa lebih kecewa ketimbang jika hal yang sama terjadi pada seseorang yang bukan profesional. Arti istilah profesional adalah tanggung jawab untuk bertindak lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab diri sendiri maupun ketentuan hukum dan peraturan masyarakat. Akuntan publik, sebagai profesional, mengakui adanya tanggung jawab kepada masyarakat, klien, serta rekan praktisi, termasuk perilaku yang terhormat, meskipun itu berarti pengorbanan diri.
Alasan utama mengharapkan tingkat perilaku profesional yang tinggi oleh setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik atas kualitas jasa yang diberikan oleh profesi, tanpa memandang individu yang menyediakan jasa tersebut. Bagi akuntan publik, kepercayaan klien dan pemakai laporan keuangan eksternal atas kualitas audit dan jasa lainnya sangatlah penting. Jika para pemakai jasa tidak memiliki kepercayaan kepada para dokter, hakim, atau akuntan publik, maka kemampuan para profesional itu untuk melayani klien serta masyarakat secara efektif akan hilang.
Oleh karena itu, untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik profesional. Seorang akuntan publik dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata–mata bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan auditannya. Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai.
Sebagai pihak yang dipercaya untuk memberikan penilaian secara independen terhadap sebuah laporan keuangan perusahaan, auditor dituntut melakukan pekerjaannya seprofesional mungkin dengan menghindari terjadinya kesalahan dalam penilaian. Apabila terdapat kesalahan dalam penilaian, maka akan berdampak pada pihak-pihak yang menggunakan hasil penilaian auditor sebagai dasar pengambilan keputusan. Dalam perencanaan audit, akuntan publik harus mempertimbangkan masalah penetapan tingkat risiko pengendalian yang direncanakan dan pertimbangan awal tingkat materialitas untuk pencapaian tujuan audit.
Untuk mewujudkan pencapaian tujuan tersebut, auditor harus melakukan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang sesuai standar dengan memahami konsep-konsep yang ada yaitu, konsep materialitas dan risiko audit dalam merencanakan dan melakukan proses audit. Konsep materialitas merupakan dasar penerapan standar auditing terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Dengan konsep ini, auditor menentukan standar hal-hal yang tergolong material atau tidak material. Hal ini menjadi sangat penting karena pendapat yang diberikan auditor merupakan pendapat terhadap hal-hal yang bersifat material saja. Maka ruang lingkup pemeriksaan dan penentuan pendapat yang akan diberikan, bergantung pada interprestasi dan pemahaman auditor terhadap nilai-nilai yang termasuk dalam hal yang material ataupun tidak material.
Sedangkan konsep risiko merupakan risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Dalam sebuah laporan auditor meliputi dua frase penting yang terkait langsung dengan materialitas dan risiko audit. “Kami melaksanakan audit kami sesuai dengan standar audit yang berlaku umum. Standar tersebut mengharuskan kami untuk merencanakan dan melakukan audit agar mendapatkan tingkat keyakinan yang memadai mengenai apakah laporan keuangan yang bebas dari salah saji material”.
1.2    Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko Audit ?
1.3  Tujuan
1.    Menjelaskan pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko Audit.
2.    Memberikan pemahaman Konsep Materialitas dan  Risiko Audit.
3.    Menjelaskan tahapan – tahapan dalam proses penerapan Konsep Materialitas dan Risiko Audit.
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1  Pengertian Profesionalisme
Menurut pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi Etika Profesional yang telah ditetapkan. Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme adalah suatu atribut individul yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak (Lekatompessy, 2003 dalam Novanda Friska, 2012).
Secara sederhana, profesionalisme berarti bahwa auditor wajib melaksanakan tugas-tugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan. Sebagai seorang yang professional, auditor harus menghindari kelalaian dan ketidakjujuran. Sebagai profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi.
Seorang auditor harus berpedoman kepada standar dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh AICPA. Standar ini terbagi dalam lima bidang utama a) Standar auditing, b) Standar kompilasi dan review, c) Standar Atestasi lainnya, d) Standar konsultasi, dan e) Kode Perilaku Profesional. Dari lima bidang utama di atas akan dibahas mengenai Standar auditing dan Kode perilaku profesional.

1.         Standar auditing, merupakan pedoman untuk membantu auditor memenuhi tanggung jawab profesionalismenya dalam audit atas laporan keuangan. Standar ini mencakup pertimbangan mengenai kualitas profesional seperti kompetensi dan independensi, persyaratan pelaporan, dan bukti.


Standar auditing yang berlaku umum (Generally Accepted Auditing Standards = GAAS). Standar-standar tersebut dibagi menjadi tiga kategori :
a.    Standar Umum, menekankan pentingnya kualitas pribadi yang harus dimiliki auditor.
1)        Auditor harus dilakukan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan dan memiliki kecakapan teknis yang memadai sebagai seorang auditor.
2)        Auditor harus mempertahankan sikap mental yang independen dalam semua hal yang berhubungan dengan audit.
3)        Auditor harus menerapkan kemahiran profesional dalam melaksanakan audit dan menyusun laporan.
b.    Standar Pekerjaan Lapangan, menyangkut pengumpulan bukti dan aktivitas lain selama pelaksanaan audit yang sebenarnya.
1)        Auditor harus merencanakan pekerjaan secara memadai dan mengawasi semua asisten sebagaimana mestinya.
2)        Auditor harus memperoleh pemahaman yang cukup mengenai entitas serta lingkungannya, termasuk pengendalian internal, untuk menilai risiko salah saji yang mental dalam laporan keuangan karena kesalahan atau kecurangan, dan untuk merancang sifat, waktu serta luas prosedur audit selanjutnya.
3)        Auditor harus memperoleh cukup bukti audit yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar memiliki dasar yang layak untuk memberikan pendapat menyangkut laporan keuangan yang diaudit.
c.    Standar Pelaporan
1)        Auditor harus menyatakan dalam laporan auditor apakah laporang keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2)        Auditor harus mengidentifikasi dalam laporan auditor mengenai keadaan di mana prinsip-prinsip tersebut tidak secara konsisten diikuti selama periode berjalan jika dikaitkan dengan periode sebelumnya.
3)        Jika auditor menetapkan bahwa pengungkapan yang informatif belum memadai, auditor harus menyatakannya dalam laporan audit.
4)        Auditor harus menyatakan pendapat mengenai laporan keuangan, secara keseluruhan, atau menyatakan bahwa suatu pendapat tidak bisa diberikan, dalam laporan auditor. Jika tidak dapat menyatakan satu pendapat secara keseluruhan, auditor harus menyatakan alasan-alasan yang mendasarinya dalam laporan auditor.
2.         Kode Perilaku Prefesional AICPA (American Institute of Certified Public Accountants) menyediakan baik standar umum perilaku yang ideal maupun peraturan perilaku yang khusus yang harus diberlakukan. Kode etik ini terdiri dari empat bagian: Prinsip-prinsip, peraturan perilaku, interpretasi atas peraturan perilaku, dan kaidah etika.
Ø Prinsip-prinsip Perilaku Profesional
Bagian Kode Etik AICPA yang membahas prinsip-prinsip perilaku profesional mencakup diskusi umum tentang karakteristik sebagai akuntan publik.
1)   Tanggung Jawab, dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai profesional, para anggota harus melaksanakan pertimbangan profesional dan moral yang sensitif dalam semua aktivitas mereka.
2)   Kepentingan publik, para anggota harus meneriama kewajiban untuk bertindak sedemikian rupa agar dapat melayani kepentingan publik, menghargai kepercayaan publik, serta menunjukkan komitmennya pada profesionalisme.
3)   Integritas, untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik, para anggota harus melaksanakan seluruh tanggung jawab profesionalnya dengan tingkat integritas tertinggi.
4)   Objektivitas dan Independensi, Anggota harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya. Anggota yang berpraktik bagi publik harus independen baik dalam fakta maupun dalam penampilan ketika menyediakan jasa audit dan jasa atestasi lainnya.
5)   Keseksamaan, Anggota harus memperhatikan standar teknis dan etika profesi, terus berusaha keras meningkatkan kompetensi dan mutu jasa yang diberikannya, serta melaksanakan tanggung jawab profesional sesuai dengan kemampuan terbaiknya.
6)   Ruang Lingkup dan Sifat jasa, anggota yang berpraktik bagi publik harus memperhatikan prinsip-prinsip kode perilaku propesional dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang akan disediakannya.

Ø Peraturan Perilaku
Bagian Kode Etik ini mencakup peraturan khusus yang harus dipatuhi oleh setiap akuntan publik dalam praktik akuntansi publik. Mereka yang memegang sertifikat akuntan publik tetapi tidak berpraktik sebagai akuntan publik harus mematuhi sebagian besar, tetapi tidak semua ketentuan tersebut. Karena bagian tentang peraturan perilaku ini merupakan satu-satunya kode etik yang dapat diberlakukan, maka peraturan ini dinyatakan dalam ungkapan yang lebih spesifik daripada ungkapan yang tercantum dalam bagian prinsip. Karena sifatnya yang dapat diberlakukan, banyak praktisi merujuk peraturan ini sebagai Kode Prilaku Profesional AICPA.

Ø Interpretasi Peraturan Perilaku
Kebutuhan akan interpretasi peraturan perilaku yang dipublikasikan timbul ketika terdapat beragam pertanyaan dari para praktisi tentang peraturan yang spesifik. Komite Eksekutif Etika Profesional AICPA menyiapkan setiap interpretasi berdasarkan konsensus komite yang terdiri dari para praktisi akuntan publik. Sebelum disahkan, interpretasi dikirimkan kepada sejumlah besar orang-orang penting dalam profesi untuk diminta masukannya. Interpretasi ini secara formal tidak dapat diberlakukan, tetapi penyimpangan dari interpretasi itu akan sulit dan bahkan mustahil untuk dijustifikasi oleh seorang praktisi dalam dengar pendapat disipliner. Interpretasi terpenting akan dibahas bersama dengan setiap bagian peraturan perilaku.

Ø Kaidah Etika
Kaidah (Ruling) adalah penjelasan oleh komite eksekutif dari divisi etika profesional tentang situasi faktual khusus (specific factual circumstances). Sejumlah besar kaidah etika dipublikasikan dalam versi yang diperluas dari Kode Perilaku Profesional AICPA.

2.2  Konsep Profesionalisme

Konsep profesionalisme banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hall (1968) dalam Novanda Friska Bayu Aji Kusuma (2012:15) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu:

a)         Pengabdian pada profesi
Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalam ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi.
b)        Kewajiban sosial
Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
c)         Kemandirian
Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional.

d)        Keyakinan terhadap peraturan profesi
Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
e)         Hubungan dengan sesama profesi
Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional.

2.3  Definisi Materialitas
Materialitas mendasari penerapan standar auditing, terutama yang berkaitan dengan penerapan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Oleh karena itu materialitas merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu audit atas laporan keuangan. PSA No. 25, Resiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit  (SA 312.08) menyatakan bahwa auditor harus mempertimbangkan materialitas dalam (a) merencanakan audit dan merancang prosedur audit, dan (b) mengevaluasi apakah laporan keuangan secara keseluruhan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Arti konsep ini dan relevansinya terhadap perencanaan audit akan dibahas dibawah ini.
2.4  Konsep Materialitas
Financial Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas sebagai berikut :
Besarnya suatu penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dipandang dari keadaan-keadaan yang melingkupinya, memungkinkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang mengandalkan pada informasi menjadi berubah atau dipengaruhi oleh penghilangan atau salah saji tersebut.
Definisi di atas mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan (1) keadaan-keadaan yang berhubungan dengan satuan usaha (perusahaan klien), dan (2) informasi yang diperlukan oleh mereka yang akan mengandalkan pada laporan keuangan yang telah diaudit. Sebagai contoh, suatu jumlah yang material bagi laporan keuangan perusahaan lain yang berbeda ukuran atau sifatnya. Selain itu, apa yang material bagi laporan keuangan suatu perusahaan, bisa berubah dari periode ke periode. Oleh karena itu, auditor misalnya dapat menyimpulkan bahwa tingkat materialitas untuk rekening-rekening modal kerja (working capital account) pada sebuah perusahaan yang hampir bangkrut harus lebih rendah bila dibandingkan dengan materialitas untuk perusahaan yang memiliki rasio lancar 4 : 1. Dalam mempertimbangkan informasi yang diperlukan bagi pemakai laporan keuangan, hendaknya dilandasi dengan asumsi yang tepat, misalnya bahwa pemakai laporan keuangan adalah investor-investor yang memahami informasi keuangan.
2.4.1    Pertimbangan Awal Materialitas
Auditor membuat pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam perencanaan audit. Pertimbangan ini, sering disebut materialitas yang direncanakan, pada akhirnya mungkin bisa menjadi berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan dalam pengambilan keputusan audit ketika auditor mengevaluasi hasil temuan, karena (1) keadaan-keadaan yang melingkupi mengkin berubah, dan (2) tambahan informasi tentang klien yang diperoleh selama audit berlangsung. Sebagai contoh, klien telah mendapat tambahan dana yang diperlukan untuk mampu melangsungkan kegiatan usahanya yang diragukan auditor ketika dulu audit direncanakan, dan hasil audit memberi penegasan bahwa kemampuan perusahaan untuk melunasi utang-utang jangka pendeknya telah berubah secara signifikan selama audit berlangsung. Dalam keadaan semacam itu, tingkat materialitas yang digunakan untuk mengevaluasi temuan-temuan audit bisa menjadi lebih tinggi daripada materialitas yang direncanakan.
Dalam merencanakan suatu audit, auditor harus mempertimbangkan materialiatas pada dua tingkatan, yaitu :
·           Tingkat laporan keuangan karena pendapat auditor mengenai kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan.
·           Tingkat saldo rekening karena auditor melakukan verifikasi atas saldo-saldo rekening untuk dapat memperoleh kesimpulan menyeluruh mengenai kewajaran laporan keuangan.


2.4.2    Materialitas Pada Tingkat Laporan Keuangan
Materialitas laporan keuangan adalah besarnya keseluruhan salah saji minimum dalam suatu laporan keuangan yang cukup penting sehingga membuat laporan keuangan menjadi tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam konteks ini, salah saji bisa diakibatkan oleh penerapan prinsip akuntansi secara keliru, tidak sesuai dengan fakta, atau karena hilangnya informasi penting.
Dalam merencanakan audit, auditor bisa menggunakan lebih dari satu tingkatan materialitas terhadap laporan keuangan, dan setiap jenis laporan keuangan bisa memiliki beberapa tingkatan materialitas. Untuk laporan rugi-laba, materialitas bisa dihubungkan dengan total pendapatan, laba kotor operasi, laba sebelum pajak, atau laba bersih. Untuk neraca, materialitas bisa didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau ekuitas pemegang saham.
Dalam membuat pertimbangan awal tentang materialitas, auditor menentukan tingkat materialitas awal keseluruhan untuk setiap jenis laporan keuangan. Sebagai contoh, auditor menaksir bahwa kekeliruan sebesar Rp 1.000.000,00 untuk laporan rugi-laba dan Rp 2.000.000,00 untuk neraca dipandang material. Dalam hal ini tidaklah tepat apabila auditor menggunakan materialitas neraca dalam perencanaan audit karena apabila salah saji neraca sebesar Rp 2.000.000,00 mempengaruhi rugi-laba, maka laporan rugi-laba akan salah saji material. Untuk tujuan perencanaan, auditor harus menggunakan pertimbangan awal mengenai tingkat materialitas dengan suatu cara yang diharapkan, dalam keterbatasan yang melekat pada proses audit, dapat memberikan bukti audit yang cukup untuk mencapai keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Auditor biasanya menggunakan salah saji terkecil yang dapat dianggap material untuk salah satu laporan keuangan. Aturan pengambilan keputusan ini dilakukan karena (1) laporan keuangan saling berhubungan , dan (2) sebagian besar prosedur audit berhubungan dengan lebih dari satu jenis laporan keuangan. Sebagai contoh, prosedur auditing untuk menentukan apakah penjualan kredit yang terjadi pada akhir tahun telah dicatat pada periode yang tepat, akan memberikan bukti baik bagi piutang dagang (neraca) maupun untuk penjualan (laporan rugi-laba).
Pertimbangan awal auditor tentang materialitas sering dibuat antara enam sampai sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu pertimbangan awal sering dibuat berdasarkan data interim yang kemudian ditaksir untuk data setahun. Alternatif lain, pertimbangan awal bisa juga dilakukan berdasarkan laporan keuangan dari tahun atau tahun-tahun yang lalu yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan pada tahun berjalan, seperti misalnya kondisi umum perekonomian dan trend industri.
Pertimbangan materialitas menyangkut baik pertimbangan kuantitatif maupun pertimbangan kualitatif.
a)      Pedoman Kuantitatif
Pada saat ini tidak ada standar akuntansi ataupun standar auditing yang berisi pedoman tentang pengukuran materialitas secara kuantitatif. Contoh berikut ini adalah pedoman yang sering digunakan oleh kantor-kantor akauntan dalam praktik.
·           5% sampai 10% dari laba bersih (10% untuk laba bersih kecil, dan 5% untuk yang lebih besar).
·           ½% sampai 1% dari total aktiva.
·           1% dari modal
·           ½% sampai 1% dari pendapatan kotor.
·           Persentase yang berbeda-beda berdasarkan total aktiva atau pendapatan, mana yang lebih besar.
b)      Pertimbangan Kualitatif
Pertimbangan kualitatif berhubungan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif yang tidak material, bisa menjadi material secara kualitatif. Hal ini terjadi, misalnya apabila suatu salah saji berhubungan dengan ketidakberesan atau tindakan melawan hukum oleh klien. Ditemukan hal demikian dalam audit, akan berakibat auditor  menarik kesimpulan bahwa terdapat resiko signifikan sebagai tambahan atas risiko untuk salah saji yang sama tetapi tidak berhubungan dengan ketidakberesan atau tindakan melawan hukum. SA 312.13 menyatakan bahwa walaupun auditor harus waspada terhadap salah saji yang mungkin material secara kualitatif, pada umumnya tidaklah praktis untuk merancang prosedur pendeteksian.
2.4.3    Materialitas Pada Tingkat Saldo Rekening
Materialitas saldo rekening adalah minimum salah saji yang bisa ada pada suatu saldo rekening yang dipandang sebagai salah saji material. Salah saji sampai tingkat tersebut disebut salah saji bisa diterima. Konsep materialitas pada tingkat saldo rekening hendaknya tidak dicampuradukan dengan istilah saldo rekening yang material. Perlu dipahami bahwa saldo rekening yang material menunjukkan besarnya saldo sebuah rekening yang tercatat dalam pembukuan, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang bisa berpengaruh terhadap pengambilan keputusan oleh pemakai laporan keuangan. Saldo rekening yang tercatat pada pembukuan disebut material bila saldo tersebut menggambarkan batas atas suatu jumlah dan di atas jumlah itu rekening tersebut bisa menjadi terlalu tinggi (overstated). Jadi, rekening yang memiliki saldo lebih kecil dari jumlah saldo tersebut, disebut tidak material ditinjau dari sudut risiko terjadinya pelaporan terlalu tinggi. Namun demikian, tidak ada batasan mengenai jumlah suatu rekening bersaldo sangat kecil untuk bisa menjadi terlalu rendah (understated). Oleh karena itu perlu dipahami bahwa bisa terjadi suatu rekening yang kelihatannya memiliki saldo tidak material, sebenarnya telah dilaporkan terlalu rendah yang melebihi materialitas.
Dalam membuat pertimbangan tentang materialitas pada tingkat saldo rekening, auditor harus mempertimbangkan hubungannya dengan materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini akan membantu auditor dalam merencanakan audit untuk mendeteksi salah saji yang secara individual tidak material, tetapi sebagai kumpulan dengan salah saji dalam rekening yang lain, bisa menjadi material ditinjau dari laporan keuangan sebagai keseluruhan.

2.4.4    Pengalokasian Materialitas Laporan Keuangan Ke Rekening-Rekening
Apabila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasi, maka taksiran awal materialitas untuk setiap rekening bisa diperoleh dengan cara mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke masing-masing rekening. Pengalokasian bisa dilakukan baik pada rekening-rekening neraca maupun rekening-rekening rugi-laba. Namun, mengingat bahwa sebagian besar salah saji pada rekenig rugi-laba juga berpengaruh terhadap neraca, dan karena rekening neraca biasanya lebih sedikit, maka auditor umumnya melakukan alokasi berdasarkan rekening-rekening neraca.
Dalam melakukan pengalokasian, auditor harus mempertimbangkan (1) kemungkinan salah saji dalam rekening dan (2) biaya yang mungkin diperlukan untuk memeriksa suatu rekening. Sebagai contoh, salah saji lebih mungkin terjadi pada persediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan biasanya audit persediaan lebih memakan biaya daripada audit terhadap aktiva tetap.
Sebagai contoh bagaimana auditor melakukan pengalokasian, misalkan total aktiva PT ABC terdiri dari :


Rekening                 Saldo                      %


Kas                         Rp        500.000          5
Piutang Dagan                 1.500.000         15
Persediaan                        3.000.000        30
Aktiva Tetap                    5.000.000         50      
                                              
                                Rp   10.000.000       100

Auditor menduga terdapat sedikit salah saji dalam kas dan aktiva tetap dan sejumlah salah saji dalam piutang dagang dan persediaan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu dengan klien, auditor memperkirakan bahwa kas dan aktiva tetap hanya sedikit memakan biaya untuk pemeriksaannya dibandingkan dengan rekening lainnya. Dengan asumsi bahwa taksiran awal materialitas laporan keuangan adalah 1% dari total aktiva atau Rp 100.000,00, maka auditor bisa membuat dua rencana pengalokasian sebagai berikut.

Pengalokasian Materialitas

Rekening                                   Rencana A                            %                         Rencana B                                    %


Kas                                    Rp       5.000,00                        5                    Rp          2.000,00                                2        

Piutang Dagang                              15.000,00                       15                                18.000,00                               18

Persediaan                                     30.000,00                      30                                 50.000,00                                50

Aktiva Tetap                                  50.000,00                       50                                30.000,00                                 30

Total                                  Rp  100.000,00                         100                      Rp  100.000,00                                100

Dalam rencana A, materialitas telah dialokasikan secara proporsional ke tiap rekening tanpa mempertimbangkan salah saji yang diperkirakan ataupun biaya pemeriksaannya. Dalam rencana B, pangalokasian materialitas lebih besar diberikan kepada piutang dan persediaan karena diperkirakan memiliki salah saji lebih besar dan biaya pendeteksiannya juga besar. Oleh karena itu, jumlah bukti yang diperlukan untuk rekening-rekening ini juga lebih sedikit (bandingkan dengan rencana A) karena terdapat hubungan terbalik antara materialitas saldo rekening dengan bukti.
Sevagai akibatnya, auditor menetapkan proporsi lebih besar dari total salah saji yang diperkirakan pada rekening-rekening tersebut yang biaya pendeteksian salah sajinya lebih mahal. Meskipun pengalokasian materialitas untuk kas dan aktiva tetap yang lebih kecil menyebabkan bertambahnya jumlah bukti yang diperlukan untuk rekening-rekening tersebut (bandingkan dengan rencana A), namun karena biaya pendeteksiannya rendah, maka secara keseluruhan tetap akan lebih hemat. 
Pengalokasian taksiran awal materialitas bisa direvisi sejalan dengan perkembangan pekerjaan lapangan. Sebagai contoh, dalam rencana B, jika setelah dilakukan audit atas piutang, maksimum salah saji dalam rekening tersebut diperkirakan Rp 8.000,00, maka kelebihannya yang tidak terpakai sebesar Rp 10.000,00 dari rekening tersebut dapat direalokasi ke persediaan.
Meskipun dalam contoh di atas pengalokasian materialitas laporan keuangan ke rekening-rekening terkesan dilakukan dengan perhitungan yang pasti, namun dalam praktik analisis akhir dari proses ini sangat tergantung pada pertimbangan subyektif si auditor.
2.5  Definisi Risiko Audit
Dalam merencanakan audit, auditor harus juga mempertimbangkan risiko audit.
SA 312.02 merumuskan risiko audit sebagai berikut :
Risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor tanpa disadari tidak memodifikasikan pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.


2.6  Komponen-Komponen Risiko Audit
Risiko audit terdiri dari tiga komponen, yaitu : Risiko bawaan (inherent risk), risiko pengendalian (control risk), dan risiko deteksi (detection risk). Berikut ini akan dibahas masing-masing risiko tersebut.
a.    Risiko Bawaan
Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo rekening atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji yang material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan prosedur struktur pengendalian intern yang terkait.
Perhitungan tentang risiko bawaan membutuhkan pertimbangan tentang berbagai hal yang bisa berpengaruh terhadap asersi-asersi dari semua atau banyak rekening dan hal-hal yang berhubungan hanya dengan asersi-asersi untuk rekening tertentu.
Contoh hal-hal yang bisa berpengaruh pada berbagai rekening adalah :
·      Profitabilitas perusahaan klien dibandingkan dengan industri.
·      Sensitif tidaknya hasil operasi terhadap faktor-faktor ekonomi.
·      Masalah-masalah yang berkaitan dengan kemampuan melanjutkan usaha, seperti misalnya kecukupan modal kerja.
·      Sifat, penyebab, dan jumlah salah saji yang diketahui atau mungkin terjadi, yang terdeteksi pada audit tahun lalu.
·      Perputaran (turnover) manajemen, reputasi, dan kemampuan akuntansi.
·      Pengaruh perkembangan teknologi terhadap operasi perusahaan dan kemampuan bersaing.
Contoh hal-hal yang berpengaruh pada rekening tertentu:
·      Tingkat kesulitan dalam mengaudit rekening atau transaksi.
·      Keterkaitan dengan persoalan akuntansi yang rumit dan menjadi bahan perdebatan.
·      Kerentanan terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan.
·      Kompleksitas perhitungan.
·      Kebutuhan akan pertimbangan yang berhubungan dengan asersi-asersi.
·      Sensitivitas penilaian terhadap faktor-faktor ekonomi.
·      Sifat, penyebab, dan jumlah salah saji yang diketahui atau mungkin terjadi yang terdeteksi pada audit tahun lalu.

Risiko bawaan bisa lebih besar untuk beberapa asersi dibandingkan dengan untuk saersi lainnya. Sebagai contoh, asersi keberadaan atau keterjadian untuk kas lebih rentan terhadap salah saji melalui penyalahgunaan atau penyelewengan, dibandingkan dengan asersi yang sama untuk aktiva tetap. Demikian pula, asersi penilaian atau pengalokasian untuk aktiva sewa guna (leased asset) lebih rentan terhadap salah saji berhubung perhitungan-perhitungannya cukup kompleks, dibandingkan dengan asersi yang sama untuk akumulasi depresiasi yang dilakukan dengan metode garis lurus yang sederhana.
Risiko bawaan merupakan faktor independen terhadap audit laporan keuangan. Ini berarti bahwa auditor tidak dapat mengubah tingkat sesungguhnya (actual level) dari risiko bawaan. Namun auditor dapat mengubah tingkat risiko yang ditetapkan (assessed level) dari risiko bawaan. Auditor dapat langsung memperkirakan risiko bawaan pada tingkat yang sesuai dengan memilih tingkat maksimum. Hal ini dilakukan auditor apabila ia berkesimpulan bahwa upaya yang diperlukan untuk mengevaluasi risiko bawaan untuk suatu asersi, lebih besar dari pengurangan prosedur audit potential yang bisa diperoleh dari penggunaan tingkat risiko yang lebih rendah.
Auditor biasanya melakukan perhitungan risiko bawaan terutama pada tahap perencanaan audit.

b.   Risiko Pengendalian
Risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh struktur pengendalian intern satuan usaha.
Risiko pengendalian adalah fungsi keefektifan kebijakan dan prosedur struktur pengendalian intern klien. Keefektifan pengendalian intern atas suatu asersi akan mengurangi risiko pengendalian, sebaliknya ketidakefektifan pengendalian intern akan mengakibatkan risiko pengendalian. Risiko pengendalian tidak akan pernah mencapai nol, karena pengendalian intern tidak bisa menjamin sepenuhnya bahwa semua salah saji material akan dapat dicegah atau dideteksi. Sebagai contoh, pengendalian bisa menjadi tidak efektif pada saat-saat tertentu karena kesalahan manusia misalnya karena ketidaktelitian atau karena kelelahan.
Seperti halnya risiko bawaan, tingkat risiko pengendalian sesungguhnya tidak bisa diubah oleh auditor. Namun demikian, auditor bisa mengubah tingkat risiko pengendalian yang ditetapkan dengan memodifikasi (1) prosedur-prosedur yang digunakan untuk mendapatkan pemahaman mengenai struktur pengendalian intern yang berhubungan dengan asersi-asersi, dan (2) prosedur-prosedur yang digunakan untuk melakukan pengujian pengendalian. Pada umumnya kedua prosedur tersebut digunakan secara lebih ekstensif, apabila auditor ingin mendapat pendukung untuk tingkat risiko pengendalian yang lebih rendah.
Biasanya auditor menetapkan perhitungan tingkat risiko pengendalian direncanakan untuk setiap asersi penting laporan keuangan pada tahap perencanaan audit. Tingkat risiko direncanakan didasarkan pada asumsi tentang keefektifan rancangan dan operasi bagian yang relevan dari struktur pengendalian intern klien. Dalam penugasan ulangan, tingkat risiko direncanakan biasanya didasarkan pada informasi yang diperoleh dalam kertas kerja tahun lalu. Perhitungan tingkat risiko pengendalian sesungguhnya ditentukan kemudian untuk setiap asersi berdasarkan bukti yang diperoleh dari studi dan evaluasi struktur pengendalian intern klien selama pekerjaan interim dalam tahap pengujian audit tahun berjalan.

c.    Risiko Deteksi
Risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi.
Risiko deteksi adalah suatu fungsi dari keefektifan prosedur auditing dan penerapannya oleh auditor. Berbeda dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian, tingkat risiko deteksi sesungguhnya bisa diubah oleh auditor dengan memodifikasi sifat, saat, dan luas pengujian substantif yang dilakukan untuk setiap asersi. Sebagai contoh, penggunaan prosedur yang lebih efektif akan menghasilkan tingkat risiko deteksi yang lebih rendah dibandingkan dengan pemakaian prosedur yang kurang efektif. Demikian pula, pengujian substantif yang dilakukan pada tanggal atau mendekati tanggal neraca, akan menghasilkan risiko deteksi lebih rendah dibandingkan dengan pengujian substantif yang dilakukan pada periode interim. Contoh lain, penggunaan sampel yang lebih besar akan mengakibatkan risiko deteksi lebih rendah, dibandingkan dengan sampel yang lebih kecil.
Dalam menentukan risiko deteksi, auditor juga harus memperhitungkan kemungkinan bahwa ia melakukan kesalahan, seperti misalnya salah menerapkan prosedur akuntansi atau salah dalam menginterpretasikan bukti yang diperoleh. Aspek risiko deteksi ini dapat dikurangi melalui perencanaan yang memadai dan supervisi yang tepat serta melalui penerapan standar pengendalian mutu.
Dalam tahap perencanaan audit, tingkat risiko deteksi direncanakan yang  dapat diterima ditentukan untuk setiap bagian signifikan dengan menerapkan model risiko audit yang menghubungkan komponen-komponen risiko audit, seperti diterangkan dalam bagian berikut. Tingkat risiko deteksi yang direncanakan apabila diperlukan bisa diubah kemudian, berdasarkan bukti yang dikumpulkan tentang efektifitas pengendalian intern.
2.6.1    Hubungan Antar Komponen-komponen Risiko
Untuk suatu tingkat risiko audit tertentu, terdapat hubungan terbalik antara tingkat risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diperhitungkan untuk suatu asersi, dengan tingkat risiko deteksi yang dapat diterima auditor untuk asersi tersebut. Artinya, semakin rendah risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diperhitungkan, semakin tinggi tingkat risiko deteksi yang dapat diterima. Risiko bawaan dan risiko pengendalian berhubungan erat dengan keadaan klien, sedangkan risiko deteksi dapat dikendalikan (controllable) oleh auditor, seperti telah diterangkan di atas. Oleh karena itu, auditor akan mengendalikan risiko audit dengan cara menyesuaikan risiko deteksi sesuai dengan tingkat risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diperhitungkan.
Di dalam menghubungkan komponen-komponen risiko audit, auditor bisa menyatakan setiap komponen dalam bentuk kuantitatif (misalnya dalam bentuk persentase) atau non-kuantitatif (sangat rendah, rendah, moderat, tinggi, dan sangat tinggi). Dalam hal ini, pemahaman tentang hubungan yang dinyatakan dalam model risiko audit sangat penting dalam menentukan tingkat risiko deteksi direncanakan yang dapat diterima.
2.6.2    Model Risiko Audit
Model risiko audit menyatakan hubungan antara komponen-komponen risiko audit sebagai berikut :

RA = RB X RP X RD
 



Dalam model di atas simbol-simbol berarti sebagai berikut :
RA = Risiko Audit
RB = Risiko Bawaan
RP = Risiko Pengendalian
RD = Risiko Deteksi
Untuk menggambarkan penggunaan model di atas, misalnya auditor telah membuat perhitungan risiko berikut untuk suatu asersi tertentu, seperti misalnya asersi penilaian atau pengalokasian atas persediaan :
RB = 50%
RP = 50%
Misalnya auditor telah menetapkan risiko audit (RA) keseluruhan sebesar 5%. Risiko deteksi dapat ditentukan dengan menggunakan model untuk RD sebagai berikut :
RD    =  RA/(RB x RP)
           =  0,05/(0,5 x 0,5)
=  20%
Apabila auditor memutuskan bahwa RB tidak dapat dikuantifikasi, atau bila usaha untuk melakukan itu akan melebihi manfaat tercapainya perhitungan risiko yang lebih rendah, maka auditor biasanya akan mengambil sikap konservatif yaitu dengan menetapkan risiko bawaan pada tingkat maksimum (100%). Dalam situasi demikian, dengan asumsi faktor-faktor lain dalam contoh yang lalu tetap, maka model akan menghasilkan RD sebesar 10% [yaitu : 0,05/(1,0 x 0,5)]. Apabila auditor juga memperhitungkan RP pada tingkat maksimum, maka RD akan menjadi 5% [yaitu : 0,05/(1,0 x 1,0)].
Jika model risiko audit digunakan dalam tahap perencanaan untuk menentukan risiko deteksi direncanakan untuk suatu asersi, RP didasarkan pada perhitungan tingkat risiko pengendalian direncanakan. Apabila kemuadian ditentukan bahwa perhitungan tingkat risiko pengendalian sesungguhnya berbeda dari tingkat risiko direncanakan, maka model dapat diterapkan kembali dengan yang telah direvisi selanjutnya digunakan untuk menyelesaikan rancangan pengujian substantif.
Dalam praktik, banyak auditor tidak berusaha untuk menguantifikasi setiap komponen risiko, sehingga tidak memungkinkan untuk secara matematis menggunakan model risiko. Namun demikian, walaupun tidak diselesaikan dengan cara matematis, pemahaman tentang model tersebut akan membuat hubungan berikut menjadi jelas, yaitu:
“Pada suatu tingkat risiko audit tertentu, semakin tinggi tingkat risiko bawaan dan risiko pengendalian diperhitungkan, akan semakin rendah tingkat risiko deteksi yang dapat diterima.”
2.6.3    Matrix Komponen-komponen Risiko
Para auditor yang menggunakan pernyataan risiko secara nonkuantitatif, biasanya menggunakan matrix komponen risiko seperti nampak pada gambar di bawah untuk menghubungkan komponen-komponen risiko. Dengan mempelajari matrix tersebut akan nampak kesamaan dengan model risiko yang dibicarakan di atas, yaitu bahwa tingkat risiko deteksi yang dapat diterima berhubungan terbalik dengan perhitungan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Sebagai contoh, matrix menunjukkan bahwa apabila risiko bawaan diperhitungkan tinggi dan risikopengendalian moderat, maka tingkat risiko deteksi yang dapat diterima adalah rendah.
Matrix ini didasarkan pada asumsi bahwa risiko audit dibatasi pada tingkat rendah. Matrix ini bisa dikembangkan lebih lanjut untuk menentukan risiko deteksi pada tingkatan risiko audit yang lain.


Perhitungan Risiko Bawaan
Perhitungan Risiko Pengendalian
Maksimum
Tinggi
Moderat
Rendah
Tingkat Risiko Deteksi Yang dapat Diterima untuk Mencapai Risiko Audit Rendah
Maksimum
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Sangat Rendah
Rendah
Rendah
Moderat
Moderat
Rendah
Rendah
Moderat
Tinggi
Rendah
Rendah
Moderat
Tinggi
*
Gambar : Matrix Komponen-komponen Risiko
2.6.4    Risiko Audit Pada Tingkat Laporan Keuangan Dan Saldo Rekening
Auditor merumuskan tingkat risiko audit keseluruhan bagi laporan keuangan sebagai keseluruhan. Pada umumnya, tingkat risiko yang sama diterapkan pula pada setiap saldo rekening dan semua asersi yang berkaitan. Apabila auditor akan menggunakan tingkat risiko yang berbeda untuk rekening yang berbeda dan asersi-asersinya, dewasa ini belum ada cara yang berlaku umum untuk menggabungkan hasilnya guna menentukan tingkat risiko audit keseluruhan yang dicapai untuk laporan keuangan sebagai keseluruhan.
Sebaliknya, tingkat risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diperhitungkan, dan tingkat risiko deteksi yang bisa diterima, dapat ditentukan secara berbeda-beda untuk setiap rekening dan asersi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, auditor tidak dapat mengendalikan tingkat risiko bawaan dan tingkat risiko deteksi, dan dengan sengaja menetapkan secara berbeda tingkat risiko deteksi yang bisa diterima, berkebalikan dengan tingkat risiko komponen-komponen lainnya, agar risiko auditnya tetap. Jadi, penetapan tingkat risiko bawaan, pengendalian, dan deteksi menyangkut masing-masing asersi pada tingkat saldo rekening, bukan pada laporan keuangan sebagai keseluruhan.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko audit
Alasan diberlakukannya perilaku profesional yang tinggi pada setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik terhadap kualitas jasa yang diberikan profesi, terlepas dari yang dilakukan perorangan. Bagi seorang auditor, penting untuk meyakinkan klien dan pemakai laporan keuangan akan kualitas auditnya. Jika pemakai jasa tidak memiliki keyakinan pada auditor, kemampuan para profesional itu untuk memberikan jasa kepada klien dan masyarakat secara efektif akan berkurang.
Untuk menjalankan tugas secara profesional, seorang auditor harus membuat perencanaan sebelum melakukan proses pengauditan laporan keuangan, termasuk penentuan tingkat materialitas dan risiko audit. Karena konsep materialitas dan risiko dalam auditing berkaitan erat dan tidak dapat terpisahkan. Risiko adalah ukuran ketidakpastian, sedangkan materialitas mengukur besarannya. Secara bersama-sama, keduanya mengukur ketidakpastian jumlah dengan besaran tertentu. Seorang akuntan publik yang profesional, akan mempertimbangkan material atau tidaknya informasi dengan tepat, karena hal ini berhubungan dengan jenis pendapat yang akan diberikan. Jadi, semakin profesional seorang auditor, maka Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam laporan keuangan akan semakin tepat.

Berdasarkan jurnal “Analisis Hubungan Antara Profesionalisme Auditor Dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan”.
Dari lima dimensi profesionalisme auditor, yaitu : pengabdian terhadap profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap peraturan profesi dan hubungan sesama profesi yang berhubungan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas, yaitu:

1)         Keyakinan terhadap peraturan profesi.

Sedangkan dimensi Pengabdian terhadap profesi, Kewajiban sosial, Kemandirian, dan Hubungan sesama profesi tidak mempunyai hubungan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

Ini diteliti oleh Rifki Muhammad peneliti yang berasal dari Yogyakarta (2008).

Berdasarkan jurnal “Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Tingkat Materialitas Dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan” dapat disimpulkan dari kelima variabel dimensi profesionalisme terdapat tiga dimensi yang berhubungan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas, yaitu:

1)      Pengabdian pada profesi
2)      Kemandirian
3)      Hubungan dengan sesama profesi

Sedangkan dimensi kewajiban sosial dan keyakinan terhadap profesi tidak mempunyai hubungan signifikan terhadap tingkat materialitas.

Ini diteliti oleh Marfin Sinaga peneliti yang berasal dari Semarang (2012).



BAB IV
KESIMPULAN

4.1  Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan antara Profesionalisme Auditor dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko Audit. Pengaruh tersebut di ukur dengan lima dimensi, yaitu Pengabdian terhadap profesi, Kewajiban sosial, Kemandirian, Keyakinan terhadap peraturan profesi dan hubungan sesama profesi. Dari kelima dimensi tersebut yang memiliki pengaruh signifikan dengan Tingkat Materialitas dan risiko antara lain:
1)      Pengabdian terhadap profesi
2)      Kemandirian
3)      Hubungan dengan sesama profesi
Sedangkan Kewajiban sosial dan Keyakinan terhadap peraturan profesi tidak memiliki pengaruh yang signifikan dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko Audit. Kesimpulan ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Marfin Sinaga, 2012). Jadi, dari hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi profesionalisme seorang auditor maka akan semakin tepat pertimbangan auditor terhadap materialitas dan risiko audit dalam pengauditan laporan keuangan.
Berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Rifki Muhammad, 2008) yang menyimpulkan dari lima dimensi hanya terdapat satu dimensi yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko Audit, yaitu :
1)      Keyakinan terhadap peraturan profesi
Sedangkan dimensi yang lainnya tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko Audit.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Twitter Delicious Digg Stumbleupon Favorites More