BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Masyarakat
kita telah memberikan pengertian khusus atas istilah profesional. Seorang
profesional diharapkan dapat berperilaku pada tingkat yang lebih tinggi dari
yang dilakukan oleh sebagian besar anggota masyarakat lain. Sebagai contoh,
ketika pers memberikan bahwa seorang dokter, biarawan, senator, atau akuntan
publik telah didakwa melakukan suatu kejahatan, mayoritas masyarakat akan
merasa lebih kecewa ketimbang jika hal yang sama terjadi pada seseorang yang
bukan profesional. Arti istilah profesional adalah tanggung jawab untuk
bertindak lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab diri sendiri maupun
ketentuan hukum dan peraturan masyarakat. Akuntan publik, sebagai profesional,
mengakui adanya tanggung jawab kepada masyarakat, klien, serta rekan praktisi,
termasuk perilaku yang terhormat, meskipun itu berarti pengorbanan diri.
Alasan
utama mengharapkan tingkat perilaku profesional yang tinggi oleh setiap profesi
adalah kebutuhan akan kepercayaan publik atas kualitas jasa yang diberikan oleh
profesi, tanpa memandang individu yang menyediakan jasa tersebut. Bagi akuntan
publik, kepercayaan klien dan pemakai laporan keuangan eksternal atas kualitas
audit dan jasa lainnya sangatlah penting. Jika para pemakai jasa tidak memiliki
kepercayaan kepada para dokter, hakim, atau akuntan publik, maka kemampuan para
profesional itu untuk melayani klien serta masyarakat secara efektif akan
hilang.
Oleh
karena itu, untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan
audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan
audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik
profesional. Seorang akuntan publik dalam melaksanakan audit atas laporan
keuangan tidak semata–mata bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga
untuk pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan auditannya.
Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan
keuangan lainnya, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang
memadai.
Sebagai pihak yang dipercaya untuk
memberikan penilaian secara independen terhadap sebuah laporan keuangan
perusahaan, auditor dituntut melakukan pekerjaannya seprofesional mungkin
dengan menghindari terjadinya kesalahan dalam penilaian. Apabila terdapat kesalahan dalam
penilaian, maka akan berdampak pada pihak-pihak yang menggunakan hasil penilaian
auditor sebagai dasar pengambilan keputusan. Dalam perencanaan audit, akuntan
publik harus mempertimbangkan masalah penetapan tingkat risiko pengendalian
yang direncanakan dan pertimbangan awal tingkat materialitas untuk pencapaian
tujuan audit.
Untuk
mewujudkan pencapaian
tujuan tersebut, auditor harus melakukan pertimbangan
dalam pengambilan
keputusan yang sesuai standar dengan memahami konsep-konsep yang ada yaitu, konsep
materialitas dan risiko audit dalam merencanakan dan melakukan proses audit.
Konsep materialitas merupakan dasar penerapan standar auditing terutama standar
pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Dengan konsep ini, auditor menentukan
standar hal-hal yang tergolong material atau tidak material. Hal ini menjadi
sangat penting karena pendapat yang diberikan auditor merupakan pendapat
terhadap hal-hal yang bersifat material saja. Maka ruang lingkup pemeriksaan
dan penentuan pendapat yang akan diberikan, bergantung pada interprestasi dan
pemahaman auditor terhadap nilai-nilai yang termasuk dalam hal yang material
ataupun tidak material.
Sedangkan konsep risiko merupakan
risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi
pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung
salah saji material. Dalam sebuah laporan auditor meliputi
dua frase penting yang terkait langsung dengan materialitas dan risiko audit. “Kami melaksanakan audit kami sesuai dengan
standar audit yang berlaku umum. Standar tersebut mengharuskan kami untuk
merencanakan dan melakukan audit agar mendapatkan tingkat keyakinan yang
memadai mengenai apakah laporan keuangan yang bebas dari salah saji material”.
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimanakah pengaruh Profesionalisme
Auditor
terhadap Pertimbangan Tingkat
Materialitas dan Risiko
Audit ?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan pengaruh Profesionalisme
Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko Audit.
2. Memberikan pemahaman Konsep
Materialitas dan Risiko Audit.
3. Menjelaskan tahapan – tahapan dalam
proses penerapan Konsep Materialitas dan Risiko Audit.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian
Profesionalisme
Menurut
pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria,
yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya,
melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang
profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi
Etika Profesional yang telah ditetapkan. Profesi dan profesionalisme dapat
dibedakan secara konseptual. Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi
beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme adalah suatu atribut individul
yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak
(Lekatompessy, 2003 dalam Novanda Friska, 2012).
Secara
sederhana, profesionalisme berarti bahwa auditor wajib melaksanakan
tugas-tugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan. Sebagai seorang yang
professional, auditor harus menghindari kelalaian dan ketidakjujuran. Sebagai
profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap
klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat,
sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi.
Seorang auditor harus berpedoman kepada
standar dan mengikuti aturan yang
telah ditetapkan oleh AICPA. Standar ini terbagi dalam lima bidang utama a) Standar
auditing, b) Standar kompilasi dan review, c) Standar Atestasi lainnya, d)
Standar konsultasi, dan e) Kode Perilaku Profesional. Dari lima bidang utama di
atas akan dibahas mengenai Standar auditing dan Kode perilaku profesional.
1.
Standar auditing, merupakan
pedoman untuk membantu auditor memenuhi tanggung jawab profesionalismenya dalam audit atas laporan
keuangan. Standar ini mencakup pertimbangan mengenai kualitas profesional seperti
kompetensi dan independensi, persyaratan pelaporan, dan bukti.
Standar auditing yang berlaku umum (Generally Accepted Auditing Standards =
GAAS). Standar-standar tersebut dibagi
menjadi tiga kategori :
a.
Standar Umum, menekankan pentingnya kualitas pribadi yang harus dimiliki auditor.
1)
Auditor harus
dilakukan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan dan memiliki kecakapan
teknis yang memadai sebagai seorang auditor.
2)
Auditor harus
mempertahankan sikap mental yang independen dalam semua hal yang berhubungan
dengan audit.
3)
Auditor harus
menerapkan kemahiran profesional dalam melaksanakan audit dan menyusun laporan.
b.
Standar Pekerjaan Lapangan, menyangkut pengumpulan bukti dan aktivitas lain
selama pelaksanaan audit yang sebenarnya.
1)
Auditor harus
merencanakan pekerjaan secara memadai dan mengawasi semua asisten sebagaimana
mestinya.
2)
Auditor harus
memperoleh pemahaman yang cukup mengenai entitas serta lingkungannya, termasuk
pengendalian internal, untuk menilai risiko salah saji yang mental dalam
laporan keuangan karena kesalahan atau kecurangan, dan untuk merancang sifat,
waktu serta luas prosedur audit selanjutnya.
3)
Auditor harus
memperoleh cukup bukti audit yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar
memiliki dasar yang layak untuk memberikan pendapat menyangkut laporan keuangan
yang diaudit.
c.
Standar Pelaporan
1)
Auditor harus
menyatakan dalam laporan auditor apakah laporang keuangan telah disajikan
sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2)
Auditor harus
mengidentifikasi dalam laporan auditor mengenai keadaan di mana prinsip-prinsip
tersebut tidak secara konsisten diikuti selama periode berjalan jika dikaitkan
dengan periode sebelumnya.
3)
Jika auditor
menetapkan bahwa pengungkapan yang informatif belum memadai, auditor harus
menyatakannya dalam laporan audit.
4)
Auditor harus
menyatakan pendapat mengenai laporan keuangan, secara keseluruhan, atau
menyatakan bahwa suatu pendapat tidak bisa diberikan, dalam laporan auditor.
Jika tidak dapat menyatakan satu pendapat secara keseluruhan, auditor harus
menyatakan alasan-alasan yang mendasarinya dalam laporan auditor.
2.
Kode Perilaku Prefesional AICPA (American Institute of Certified Public
Accountants) menyediakan baik standar umum perilaku yang ideal maupun peraturan
perilaku yang khusus yang harus diberlakukan. Kode etik ini terdiri dari empat
bagian: Prinsip-prinsip, peraturan perilaku, interpretasi atas peraturan
perilaku, dan kaidah etika.
Ø Prinsip-prinsip
Perilaku Profesional
Bagian Kode Etik AICPA yang membahas
prinsip-prinsip perilaku profesional mencakup diskusi umum tentang karakteristik
sebagai akuntan publik.
1) Tanggung
Jawab, dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai profesional, para anggota
harus melaksanakan pertimbangan profesional dan moral yang sensitif dalam semua
aktivitas mereka.
2) Kepentingan
publik, para anggota harus meneriama kewajiban untuk bertindak sedemikian rupa
agar dapat melayani kepentingan publik, menghargai kepercayaan publik, serta
menunjukkan komitmennya pada profesionalisme.
3) Integritas,
untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik, para anggota harus
melaksanakan seluruh tanggung jawab profesionalnya dengan tingkat integritas
tertinggi.
4) Objektivitas
dan Independensi, Anggota harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari
konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya. Anggota
yang berpraktik bagi publik harus independen baik dalam fakta maupun dalam
penampilan ketika menyediakan jasa audit dan jasa atestasi lainnya.
5) Keseksamaan,
Anggota harus memperhatikan standar teknis dan etika profesi, terus berusaha
keras meningkatkan kompetensi dan mutu jasa yang diberikannya, serta
melaksanakan tanggung jawab profesional sesuai dengan kemampuan terbaiknya.
6) Ruang
Lingkup dan Sifat jasa, anggota yang berpraktik bagi publik harus memperhatikan
prinsip-prinsip kode perilaku propesional dalam menentukan lingkup dan sifat
jasa yang akan disediakannya.
Ø Peraturan
Perilaku
Bagian Kode Etik ini mencakup peraturan
khusus yang harus dipatuhi oleh setiap akuntan publik dalam praktik akuntansi
publik. Mereka yang memegang sertifikat akuntan publik tetapi tidak berpraktik
sebagai akuntan publik harus mematuhi sebagian besar, tetapi tidak semua
ketentuan tersebut. Karena bagian tentang peraturan perilaku ini merupakan
satu-satunya kode etik yang dapat diberlakukan, maka peraturan ini dinyatakan
dalam ungkapan yang lebih spesifik daripada ungkapan yang tercantum dalam
bagian prinsip. Karena sifatnya yang dapat diberlakukan, banyak praktisi
merujuk peraturan ini sebagai Kode Prilaku Profesional AICPA.
Ø Interpretasi
Peraturan Perilaku
Kebutuhan akan interpretasi peraturan
perilaku yang dipublikasikan timbul ketika terdapat beragam pertanyaan dari
para praktisi tentang peraturan yang spesifik. Komite Eksekutif Etika
Profesional AICPA menyiapkan setiap interpretasi berdasarkan konsensus komite
yang terdiri dari para praktisi akuntan publik. Sebelum disahkan, interpretasi
dikirimkan kepada sejumlah besar orang-orang penting dalam profesi untuk
diminta masukannya. Interpretasi ini secara formal tidak dapat diberlakukan,
tetapi penyimpangan dari interpretasi itu akan sulit dan bahkan mustahil untuk
dijustifikasi oleh seorang praktisi dalam dengar pendapat disipliner.
Interpretasi terpenting akan dibahas bersama dengan setiap bagian peraturan perilaku.
Ø Kaidah
Etika
Kaidah (Ruling) adalah penjelasan oleh
komite eksekutif dari divisi etika profesional tentang situasi faktual khusus
(specific factual circumstances). Sejumlah besar kaidah etika dipublikasikan
dalam versi yang diperluas dari Kode Perilaku Profesional AICPA.
2.2 Konsep Profesionalisme
Konsep profesionalisme banyak
digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi
auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hall (1968) dalam Novanda
Friska Bayu Aji Kusuma (2012:15) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu:
a)
Pengabdian pada profesi
Pengabdian pada profesi
dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan
kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalam
ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total
terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat
untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga
kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru
kemudian materi.
b)
Kewajiban sosial
Kewajiban sosial adalah pandangan
tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat
maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
c)
Kemandirian
Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu
pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri
tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi).
Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara
profesional.
d)
Keyakinan terhadap peraturan profesi
Keyakinan terhadap profesi adalah suatu
keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah
rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
e)
Hubungan dengan sesama profesi
Hubungan
dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk
didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama
dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun
kesadaran profesional.
2.3 Definisi
Materialitas
Materialitas mendasari penerapan standar
auditing, terutama yang berkaitan dengan penerapan standar pekerjaan lapangan
dan standar pelaporan. Oleh karena itu materialitas merupakan faktor yang
sangat penting dalam suatu audit atas laporan keuangan. PSA No. 25, Resiko Audit dan Materialitas dalam
Pelaksanaan Audit (SA 312.08)
menyatakan bahwa auditor harus mempertimbangkan materialitas dalam (a)
merencanakan audit dan merancang prosedur audit, dan (b) mengevaluasi apakah
laporan keuangan secara keseluruhan disajikan secara wajar, dalam semua hal
yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Arti konsep
ini dan relevansinya terhadap perencanaan audit akan dibahas dibawah ini.
2.4 Konsep
Materialitas
Financial
Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas sebagai berikut :
Besarnya
suatu penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dipandang dari
keadaan-keadaan yang melingkupinya, memungkinkan pertimbangan yang dilakukan
oleh orang yang mengandalkan pada informasi menjadi berubah atau dipengaruhi
oleh penghilangan atau salah saji tersebut.
Definisi di atas mengharuskan auditor
untuk mempertimbangkan (1) keadaan-keadaan yang berhubungan dengan satuan usaha
(perusahaan klien), dan (2) informasi yang diperlukan oleh mereka yang akan
mengandalkan pada laporan keuangan yang telah diaudit. Sebagai contoh, suatu
jumlah yang material bagi laporan keuangan perusahaan lain yang berbeda ukuran
atau sifatnya. Selain itu, apa yang material bagi laporan keuangan suatu
perusahaan, bisa berubah dari periode ke periode. Oleh karena itu, auditor
misalnya dapat menyimpulkan bahwa tingkat materialitas untuk rekening-rekening
modal kerja (working capital account)
pada sebuah perusahaan yang hampir bangkrut harus lebih rendah bila dibandingkan
dengan materialitas untuk perusahaan yang memiliki rasio lancar 4 : 1. Dalam
mempertimbangkan informasi yang diperlukan bagi pemakai laporan keuangan,
hendaknya dilandasi dengan asumsi yang tepat, misalnya bahwa pemakai laporan
keuangan adalah investor-investor yang memahami informasi keuangan.
2.4.1 Pertimbangan Awal Materialitas
Auditor membuat pertimbangan awal
tentang tingkat materialitas dalam perencanaan audit. Pertimbangan ini, sering
disebut materialitas yang direncanakan, pada
akhirnya mungkin bisa menjadi berbeda dengan tingkat materialitas yang
digunakan dalam pengambilan keputusan audit ketika auditor mengevaluasi hasil
temuan, karena (1) keadaan-keadaan yang melingkupi mengkin berubah, dan (2)
tambahan informasi tentang klien yang diperoleh selama audit berlangsung.
Sebagai contoh, klien telah mendapat tambahan dana yang diperlukan untuk mampu
melangsungkan kegiatan usahanya yang diragukan auditor ketika dulu audit
direncanakan, dan hasil audit memberi penegasan bahwa kemampuan perusahaan untuk
melunasi utang-utang jangka pendeknya telah berubah secara signifikan selama
audit berlangsung. Dalam keadaan semacam itu, tingkat materialitas yang
digunakan untuk mengevaluasi temuan-temuan audit bisa menjadi lebih tinggi
daripada materialitas yang direncanakan.
Dalam merencanakan suatu audit, auditor
harus mempertimbangkan materialiatas pada dua tingkatan, yaitu :
·
Tingkat
laporan keuangan karena pendapat auditor mengenai
kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan.
·
Tingkat
saldo rekening karena auditor melakukan verifikasi atas
saldo-saldo rekening untuk dapat memperoleh kesimpulan menyeluruh mengenai
kewajaran laporan keuangan.
2.4.2 Materialitas Pada Tingkat Laporan Keuangan
Materialitas
laporan keuangan adalah besarnya keseluruhan salah saji minimum dalam suatu
laporan keuangan yang cukup penting sehingga membuat laporan keuangan menjadi
tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang
berlaku umum. Dalam konteks ini, salah saji bisa diakibatkan oleh penerapan
prinsip akuntansi secara keliru, tidak sesuai dengan fakta, atau karena
hilangnya informasi penting.
Dalam
merencanakan audit, auditor bisa menggunakan lebih dari satu tingkatan
materialitas terhadap laporan keuangan, dan setiap jenis laporan keuangan bisa
memiliki beberapa tingkatan materialitas. Untuk laporan rugi-laba, materialitas
bisa dihubungkan dengan total pendapatan, laba kotor operasi, laba sebelum
pajak, atau laba bersih. Untuk neraca, materialitas bisa didasarkan pada total
aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau ekuitas pemegang saham.
Dalam
membuat pertimbangan awal tentang materialitas, auditor menentukan tingkat
materialitas awal keseluruhan untuk setiap jenis laporan keuangan. Sebagai
contoh, auditor menaksir bahwa kekeliruan sebesar Rp 1.000.000,00 untuk laporan
rugi-laba dan Rp 2.000.000,00 untuk neraca dipandang material. Dalam hal ini
tidaklah tepat apabila auditor menggunakan materialitas neraca dalam
perencanaan audit karena apabila salah saji neraca sebesar Rp 2.000.000,00
mempengaruhi rugi-laba, maka laporan rugi-laba akan salah saji material. Untuk
tujuan perencanaan, auditor harus menggunakan pertimbangan awal mengenai
tingkat materialitas dengan suatu cara yang diharapkan, dalam keterbatasan yang
melekat pada proses audit, dapat memberikan bukti audit yang cukup untuk
mencapai keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji
material. Auditor biasanya menggunakan salah
saji terkecil yang dapat dianggap material untuk salah satu laporan keuangan.
Aturan pengambilan keputusan ini dilakukan karena (1) laporan keuangan saling
berhubungan , dan (2) sebagian besar prosedur audit berhubungan dengan lebih
dari satu jenis laporan keuangan. Sebagai contoh, prosedur auditing untuk
menentukan apakah penjualan kredit yang terjadi pada akhir tahun telah dicatat
pada periode yang tepat, akan memberikan bukti baik bagi piutang dagang
(neraca) maupun untuk penjualan (laporan rugi-laba).
Pertimbangan
awal auditor tentang materialitas sering dibuat antara enam sampai sembilan
bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu pertimbangan awal sering dibuat
berdasarkan data interim yang kemudian ditaksir untuk data setahun. Alternatif
lain, pertimbangan awal bisa juga dilakukan berdasarkan laporan keuangan dari
tahun atau tahun-tahun yang lalu yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan
pada tahun berjalan, seperti misalnya kondisi umum perekonomian dan trend
industri.
Pertimbangan
materialitas menyangkut baik pertimbangan kuantitatif maupun pertimbangan
kualitatif.
a) Pedoman
Kuantitatif
Pada
saat ini tidak ada standar akuntansi ataupun standar auditing yang berisi
pedoman tentang pengukuran materialitas secara kuantitatif. Contoh berikut ini
adalah pedoman yang sering digunakan oleh kantor-kantor akauntan dalam praktik.
·
5% sampai 10% dari laba bersih (10%
untuk laba bersih kecil, dan 5% untuk yang lebih besar).
·
½% sampai 1% dari total aktiva.
·
1% dari modal
·
½% sampai 1% dari pendapatan kotor.
·
Persentase yang berbeda-beda berdasarkan
total aktiva atau pendapatan, mana yang lebih besar.
b) Pertimbangan
Kualitatif
Pertimbangan
kualitatif berhubungan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara
kuantitatif yang tidak material, bisa menjadi material secara kualitatif. Hal
ini terjadi, misalnya apabila suatu salah saji berhubungan dengan
ketidakberesan atau tindakan melawan hukum oleh klien. Ditemukan hal demikian
dalam audit, akan berakibat auditor
menarik kesimpulan bahwa terdapat resiko signifikan sebagai tambahan
atas risiko untuk salah saji yang sama tetapi tidak berhubungan dengan
ketidakberesan atau tindakan melawan hukum. SA 312.13 menyatakan bahwa walaupun
auditor harus waspada terhadap salah saji yang mungkin material secara
kualitatif, pada umumnya tidaklah praktis untuk merancang prosedur
pendeteksian.
2.4.3 Materialitas Pada Tingkat Saldo Rekening
Materialitas
saldo rekening adalah minimum salah saji yang bisa ada pada suatu saldo
rekening yang dipandang sebagai salah saji material. Salah saji sampai tingkat
tersebut disebut salah saji bisa
diterima. Konsep materialitas pada tingkat saldo rekening hendaknya tidak
dicampuradukan dengan istilah saldo
rekening yang material. Perlu dipahami bahwa saldo rekening yang material
menunjukkan besarnya saldo sebuah rekening yang tercatat dalam pembukuan,
sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang bisa berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan oleh pemakai laporan keuangan. Saldo rekening yang tercatat pada
pembukuan disebut material bila saldo tersebut menggambarkan batas atas suatu
jumlah dan di atas jumlah itu rekening tersebut bisa menjadi terlalu tinggi (overstated). Jadi, rekening yang
memiliki saldo lebih kecil dari jumlah saldo tersebut, disebut tidak material
ditinjau dari sudut risiko terjadinya pelaporan terlalu tinggi. Namun demikian,
tidak ada batasan mengenai jumlah suatu rekening bersaldo sangat kecil untuk
bisa menjadi terlalu rendah (understated).
Oleh karena itu perlu dipahami bahwa bisa terjadi suatu rekening yang
kelihatannya memiliki saldo tidak material, sebenarnya telah dilaporkan terlalu
rendah yang melebihi materialitas.
Dalam
membuat pertimbangan tentang materialitas pada tingkat saldo rekening, auditor
harus mempertimbangkan hubungannya dengan materialitas laporan keuangan.
Pertimbangan ini akan membantu auditor dalam merencanakan audit untuk
mendeteksi salah saji yang secara individual tidak material, tetapi sebagai
kumpulan dengan salah saji dalam rekening yang lain, bisa menjadi material
ditinjau dari laporan keuangan sebagai keseluruhan.
2.4.4 Pengalokasian Materialitas Laporan Keuangan
Ke Rekening-Rekening
Apabila
pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasi,
maka taksiran awal materialitas untuk setiap rekening bisa diperoleh dengan
cara mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke masing-masing rekening.
Pengalokasian bisa dilakukan baik pada rekening-rekening neraca maupun
rekening-rekening rugi-laba. Namun, mengingat bahwa sebagian besar salah saji
pada rekenig rugi-laba juga berpengaruh terhadap neraca, dan karena rekening
neraca biasanya lebih sedikit, maka auditor umumnya melakukan alokasi
berdasarkan rekening-rekening neraca.
Dalam
melakukan pengalokasian, auditor harus mempertimbangkan (1) kemungkinan salah
saji dalam rekening dan (2) biaya yang mungkin diperlukan untuk memeriksa suatu
rekening. Sebagai contoh, salah saji lebih mungkin terjadi pada persediaan
dibandingkan dengan aktiva tetap, dan biasanya audit persediaan lebih memakan
biaya daripada audit terhadap aktiva tetap.
Sebagai
contoh bagaimana auditor melakukan pengalokasian, misalkan total aktiva PT ABC
terdiri dari :
Rekening
Saldo %
|
Kas Rp 500.000 5
Piutang Dagan 1.500.000
15
Persediaan 3.000.000
30
Aktiva Tetap 5.000.000 50
Rp 10.000.000 100
|
Auditor menduga
terdapat sedikit salah saji dalam kas dan aktiva tetap dan sejumlah salah saji
dalam piutang dagang dan persediaan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu dengan
klien, auditor memperkirakan bahwa kas dan aktiva tetap hanya sedikit memakan biaya
untuk pemeriksaannya dibandingkan dengan rekening lainnya. Dengan asumsi bahwa
taksiran awal materialitas laporan keuangan adalah 1% dari total aktiva atau Rp
100.000,00, maka auditor bisa membuat dua rencana pengalokasian sebagai
berikut.
Pengalokasian Materialitas
|
Rekening Rencana A % Rencana B %
|
Kas Rp 5.000,00
5 Rp
2.000,00 2
Piutang Dagang 15.000,00 15 18.000,00 18
Persediaan 30.000,00 30 50.000,00 50
Aktiva Tetap 50.000,00 50 30.000,00 30
|
Total Rp 100.000,00 100 Rp 100.000,00 100
|
Dalam rencana A, materialitas telah dialokasikan secara proporsional ke tiap rekening tanpa mempertimbangkan salah saji yang diperkirakan ataupun biaya pemeriksaannya. Dalam rencana B, pangalokasian materialitas lebih besar diberikan kepada piutang dan persediaan karena diperkirakan memiliki salah saji lebih besar dan biaya pendeteksiannya juga besar. Oleh karena itu, jumlah bukti yang diperlukan untuk rekening-rekening ini juga lebih sedikit (bandingkan dengan rencana A) karena terdapat hubungan terbalik antara materialitas saldo rekening dengan bukti. Sevagai akibatnya, auditor menetapkan proporsi lebih besar dari total salah saji yang diperkirakan pada rekening-rekening tersebut yang biaya pendeteksian salah sajinya lebih mahal. Meskipun pengalokasian materialitas untuk kas dan aktiva tetap yang lebih kecil menyebabkan bertambahnya jumlah bukti yang diperlukan untuk rekening-rekening tersebut (bandingkan dengan rencana A), namun karena biaya pendeteksiannya rendah, maka secara keseluruhan tetap akan lebih hemat.
Pengalokasian
taksiran awal materialitas bisa direvisi sejalan dengan perkembangan pekerjaan
lapangan. Sebagai contoh, dalam rencana B, jika setelah dilakukan audit atas
piutang, maksimum salah saji dalam rekening tersebut diperkirakan Rp 8.000,00,
maka kelebihannya yang tidak terpakai sebesar Rp 10.000,00 dari rekening
tersebut dapat direalokasi ke persediaan.
Meskipun
dalam contoh di atas pengalokasian materialitas laporan keuangan ke
rekening-rekening terkesan dilakukan dengan perhitungan yang pasti, namun dalam
praktik analisis akhir dari proses ini sangat tergantung pada pertimbangan
subyektif si auditor.
2.5 Definisi Risiko Audit
Dalam merencanakan
audit, auditor harus juga mempertimbangkan risiko audit.
SA 312.02 merumuskan risiko audit
sebagai berikut :
Risiko
audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor tanpa disadari tidak
memodifikasikan pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan
yang mengandung salah saji material.
2.6 Komponen-Komponen
Risiko Audit
Risiko audit terdiri
dari tiga komponen, yaitu : Risiko bawaan (inherent
risk), risiko pengendalian (control
risk), dan risiko deteksi (detection
risk). Berikut ini akan dibahas masing-masing risiko tersebut.
a. Risiko Bawaan
Risiko bawaan adalah kerentanan
suatu saldo rekening atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji yang
material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan prosedur struktur
pengendalian intern yang terkait.
Perhitungan
tentang risiko bawaan membutuhkan pertimbangan tentang berbagai hal yang bisa
berpengaruh terhadap asersi-asersi dari semua atau banyak rekening dan hal-hal
yang berhubungan hanya dengan asersi-asersi untuk rekening tertentu.
Contoh
hal-hal yang bisa berpengaruh pada berbagai rekening adalah :
·
Profitabilitas perusahaan klien
dibandingkan dengan industri.
·
Sensitif tidaknya hasil operasi terhadap
faktor-faktor ekonomi.
·
Masalah-masalah yang berkaitan dengan
kemampuan melanjutkan usaha, seperti misalnya kecukupan modal kerja.
·
Sifat, penyebab, dan jumlah salah saji
yang diketahui atau mungkin terjadi, yang terdeteksi pada audit tahun lalu.
·
Perputaran (turnover) manajemen, reputasi, dan kemampuan akuntansi.
·
Pengaruh perkembangan teknologi terhadap
operasi perusahaan dan kemampuan bersaing.
Contoh hal-hal yang berpengaruh pada
rekening tertentu:
·
Tingkat kesulitan dalam mengaudit
rekening atau transaksi.
·
Keterkaitan dengan persoalan akuntansi
yang rumit dan menjadi bahan perdebatan.
·
Kerentanan terhadap kemungkinan
terjadinya kesalahan.
·
Kompleksitas perhitungan.
·
Kebutuhan akan pertimbangan yang
berhubungan dengan asersi-asersi.
·
Sensitivitas penilaian terhadap
faktor-faktor ekonomi.
·
Sifat, penyebab, dan jumlah salah saji
yang diketahui atau mungkin terjadi yang terdeteksi pada audit tahun lalu.
Risiko
bawaan bisa lebih besar untuk beberapa asersi dibandingkan dengan untuk saersi
lainnya. Sebagai contoh, asersi keberadaan atau keterjadian untuk kas lebih
rentan terhadap salah saji melalui penyalahgunaan atau penyelewengan,
dibandingkan dengan asersi yang sama untuk aktiva tetap. Demikian pula, asersi
penilaian atau pengalokasian untuk aktiva sewa guna (leased asset) lebih rentan terhadap salah saji berhubung
perhitungan-perhitungannya cukup kompleks, dibandingkan dengan asersi yang sama
untuk akumulasi depresiasi yang dilakukan dengan metode garis lurus yang
sederhana.
Risiko
bawaan merupakan faktor independen terhadap audit laporan keuangan. Ini berarti
bahwa auditor tidak dapat mengubah tingkat
sesungguhnya (actual level) dari risiko bawaan. Namun auditor dapat
mengubah tingkat risiko yang ditetapkan
(assessed level) dari risiko bawaan. Auditor dapat langsung memperkirakan
risiko bawaan pada tingkat yang sesuai dengan memilih tingkat maksimum. Hal ini
dilakukan auditor apabila ia berkesimpulan bahwa upaya yang diperlukan untuk
mengevaluasi risiko bawaan untuk suatu asersi, lebih besar dari pengurangan
prosedur audit potential yang bisa diperoleh dari penggunaan tingkat risiko
yang lebih rendah.
Auditor
biasanya melakukan perhitungan risiko bawaan terutama pada tahap perencanaan
audit.
b. Risiko Pengendalian
Risiko pengendalian adalah risiko
bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak
dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh struktur pengendalian
intern satuan usaha.
Risiko
pengendalian adalah fungsi keefektifan kebijakan dan prosedur struktur
pengendalian intern klien. Keefektifan pengendalian intern atas suatu asersi
akan mengurangi risiko pengendalian, sebaliknya ketidakefektifan pengendalian
intern akan mengakibatkan risiko pengendalian. Risiko pengendalian tidak akan
pernah mencapai nol, karena pengendalian intern tidak bisa menjamin sepenuhnya
bahwa semua salah saji material akan dapat dicegah atau dideteksi. Sebagai
contoh, pengendalian bisa menjadi tidak efektif pada saat-saat tertentu karena
kesalahan manusia misalnya karena ketidaktelitian atau karena kelelahan.
Seperti
halnya risiko bawaan, tingkat risiko
pengendalian sesungguhnya tidak bisa diubah oleh auditor. Namun demikian,
auditor bisa mengubah tingkat risiko
pengendalian yang ditetapkan dengan memodifikasi (1) prosedur-prosedur yang
digunakan untuk mendapatkan pemahaman mengenai struktur pengendalian intern
yang berhubungan dengan asersi-asersi, dan (2) prosedur-prosedur yang digunakan
untuk melakukan pengujian pengendalian. Pada umumnya kedua prosedur tersebut
digunakan secara lebih ekstensif, apabila auditor ingin mendapat pendukung
untuk tingkat risiko pengendalian yang lebih rendah.
Biasanya
auditor menetapkan perhitungan tingkat
risiko pengendalian direncanakan untuk setiap asersi penting laporan
keuangan pada tahap perencanaan audit. Tingkat risiko direncanakan didasarkan
pada asumsi tentang keefektifan rancangan dan operasi bagian yang relevan dari
struktur pengendalian intern klien. Dalam penugasan ulangan, tingkat risiko
direncanakan biasanya didasarkan pada informasi yang diperoleh dalam kertas
kerja tahun lalu. Perhitungan tingkat
risiko pengendalian sesungguhnya ditentukan kemudian untuk setiap asersi
berdasarkan bukti yang diperoleh dari studi dan evaluasi struktur pengendalian
intern klien selama pekerjaan interim dalam tahap pengujian audit tahun
berjalan.
c. Risiko Deteksi
Risiko deteksi adalah risiko bahwa
auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu
asersi.
Risiko
deteksi adalah suatu fungsi dari keefektifan prosedur auditing dan penerapannya
oleh auditor. Berbeda dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian, tingkat risiko deteksi sesungguhnya bisa
diubah oleh auditor dengan memodifikasi sifat, saat, dan luas pengujian
substantif yang dilakukan untuk setiap asersi. Sebagai contoh, penggunaan prosedur yang lebih efektif akan
menghasilkan tingkat risiko deteksi yang lebih rendah dibandingkan dengan
pemakaian prosedur yang kurang efektif. Demikian pula, pengujian substantif
yang dilakukan pada tanggal atau mendekati tanggal neraca, akan menghasilkan
risiko deteksi lebih rendah dibandingkan dengan pengujian substantif yang
dilakukan pada periode interim. Contoh lain, penggunaan sampel yang lebih besar
akan mengakibatkan risiko deteksi lebih rendah, dibandingkan dengan sampel yang
lebih kecil.
Dalam
menentukan risiko deteksi, auditor juga harus memperhitungkan kemungkinan bahwa
ia melakukan kesalahan, seperti misalnya salah menerapkan prosedur akuntansi
atau salah dalam menginterpretasikan bukti yang diperoleh. Aspek risiko deteksi
ini dapat dikurangi melalui perencanaan yang memadai dan supervisi yang tepat
serta melalui penerapan standar pengendalian mutu.
Dalam
tahap perencanaan audit, tingkat risiko
deteksi direncanakan yang dapat diterima
ditentukan untuk setiap bagian signifikan dengan menerapkan model risiko
audit yang menghubungkan komponen-komponen risiko audit, seperti diterangkan
dalam bagian berikut. Tingkat risiko deteksi yang direncanakan apabila
diperlukan bisa diubah kemudian, berdasarkan bukti yang dikumpulkan tentang
efektifitas pengendalian intern.
2.6.1 Hubungan Antar Komponen-komponen Risiko
Untuk suatu tingkat
risiko audit tertentu, terdapat hubungan terbalik antara tingkat risiko bawaan
dan risiko pengendalian yang diperhitungkan untuk suatu asersi, dengan tingkat
risiko deteksi yang dapat diterima auditor untuk asersi tersebut. Artinya,
semakin rendah risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diperhitungkan,
semakin tinggi tingkat risiko deteksi yang dapat diterima. Risiko bawaan dan
risiko pengendalian berhubungan erat dengan keadaan klien, sedangkan risiko
deteksi dapat dikendalikan (controllable)
oleh auditor, seperti telah diterangkan di atas. Oleh karena itu, auditor akan
mengendalikan risiko audit dengan cara menyesuaikan risiko deteksi sesuai
dengan tingkat risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diperhitungkan.
Di dalam menghubungkan
komponen-komponen risiko audit, auditor bisa menyatakan setiap komponen dalam
bentuk kuantitatif (misalnya dalam bentuk persentase) atau non-kuantitatif
(sangat rendah, rendah, moderat, tinggi, dan sangat tinggi). Dalam hal ini,
pemahaman tentang hubungan yang dinyatakan dalam model risiko audit sangat
penting dalam menentukan tingkat risiko deteksi direncanakan yang dapat
diterima.
2.6.2 Model Risiko Audit
Model risiko audit
menyatakan hubungan antara komponen-komponen risiko audit sebagai berikut :
RA = RB X RP X RD |
Dalam
model di atas simbol-simbol berarti sebagai berikut :
RA
= Risiko Audit
RB
= Risiko Bawaan
RP
= Risiko Pengendalian
RD
= Risiko Deteksi
Untuk menggambarkan penggunaan model di
atas, misalnya auditor telah membuat perhitungan risiko berikut untuk suatu
asersi tertentu, seperti misalnya asersi penilaian atau pengalokasian atas
persediaan :
RB = 50%
RP = 50%
Misalnya
auditor telah menetapkan risiko audit (RA) keseluruhan sebesar 5%. Risiko
deteksi dapat ditentukan dengan menggunakan model untuk RD sebagai berikut :
RD
= RA/(RB x RP)
= 0,05/(0,5
x 0,5)
= 20%
Apabila auditor memutuskan bahwa RB
tidak dapat dikuantifikasi, atau bila usaha untuk melakukan itu akan melebihi
manfaat tercapainya perhitungan risiko yang lebih rendah, maka auditor biasanya
akan mengambil sikap konservatif yaitu dengan menetapkan risiko bawaan pada
tingkat maksimum (100%). Dalam situasi demikian, dengan asumsi faktor-faktor
lain dalam contoh yang lalu tetap, maka model akan menghasilkan RD sebesar 10%
[yaitu : 0,05/(1,0 x 0,5)]. Apabila auditor juga memperhitungkan RP pada
tingkat maksimum, maka RD akan menjadi 5% [yaitu : 0,05/(1,0 x 1,0)].
Jika model risiko audit digunakan dalam
tahap perencanaan untuk menentukan risiko deteksi direncanakan untuk suatu
asersi, RP didasarkan pada perhitungan tingkat risiko pengendalian
direncanakan. Apabila kemuadian ditentukan bahwa perhitungan tingkat risiko
pengendalian sesungguhnya berbeda dari tingkat risiko direncanakan, maka model
dapat diterapkan kembali dengan yang telah direvisi selanjutnya digunakan untuk
menyelesaikan rancangan pengujian substantif.
Dalam praktik, banyak auditor tidak
berusaha untuk menguantifikasi setiap komponen risiko, sehingga tidak
memungkinkan untuk secara matematis menggunakan model risiko. Namun demikian,
walaupun tidak diselesaikan dengan cara matematis, pemahaman tentang model
tersebut akan membuat hubungan berikut menjadi jelas, yaitu:
“Pada suatu tingkat
risiko audit tertentu, semakin tinggi tingkat risiko bawaan dan risiko
pengendalian diperhitungkan, akan semakin rendah tingkat risiko deteksi yang
dapat diterima.”
2.6.3 Matrix Komponen-komponen Risiko
Para auditor yang menggunakan pernyataan
risiko secara nonkuantitatif, biasanya menggunakan matrix komponen risiko
seperti nampak pada gambar di bawah untuk menghubungkan komponen-komponen
risiko. Dengan mempelajari matrix tersebut akan nampak kesamaan dengan model
risiko yang dibicarakan di atas, yaitu bahwa tingkat risiko deteksi yang dapat
diterima berhubungan terbalik dengan perhitungan risiko bawaan dan risiko
pengendalian. Sebagai contoh, matrix menunjukkan bahwa apabila risiko bawaan
diperhitungkan tinggi dan risikopengendalian moderat, maka tingkat risiko
deteksi yang dapat diterima adalah rendah.
Matrix ini didasarkan pada asumsi bahwa
risiko audit dibatasi pada tingkat rendah. Matrix ini bisa dikembangkan lebih
lanjut untuk menentukan risiko deteksi pada tingkatan risiko audit yang lain.
Perhitungan Risiko Bawaan |
Perhitungan
Risiko Pengendalian
|
|||
Maksimum
|
Tinggi
|
Moderat
|
Rendah
|
|
Tingkat
Risiko Deteksi Yang dapat Diterima untuk Mencapai Risiko Audit Rendah
|
||||
Maksimum
|
Sangat Rendah
|
Sangat Rendah
|
Rendah
|
Rendah
|
Tinggi
|
Sangat Rendah
|
Rendah
|
Rendah
|
Moderat
|
Moderat
|
Rendah
|
Rendah
|
Moderat
|
Tinggi
|
Rendah
|
Rendah
|
Moderat
|
Tinggi
|
*
|
Gambar : Matrix Komponen-komponen
Risiko
2.6.4 Risiko Audit Pada Tingkat Laporan Keuangan Dan Saldo Rekening
Auditor merumuskan
tingkat risiko audit keseluruhan bagi laporan keuangan sebagai keseluruhan.
Pada umumnya, tingkat risiko yang sama diterapkan pula pada setiap saldo
rekening dan semua asersi yang berkaitan. Apabila auditor akan menggunakan
tingkat risiko yang berbeda untuk rekening yang berbeda dan asersi-asersinya,
dewasa ini belum ada cara yang berlaku umum untuk menggabungkan hasilnya guna
menentukan tingkat risiko audit keseluruhan yang dicapai untuk laporan keuangan
sebagai keseluruhan.
Sebaliknya, tingkat
risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diperhitungkan, dan tingkat risiko
deteksi yang bisa diterima, dapat ditentukan secara berbeda-beda untuk setiap
rekening dan asersi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, auditor tidak dapat
mengendalikan tingkat risiko bawaan dan tingkat risiko deteksi, dan dengan
sengaja menetapkan secara berbeda tingkat risiko deteksi yang bisa diterima,
berkebalikan dengan tingkat risiko komponen-komponen lainnya, agar risiko
auditnya tetap. Jadi, penetapan tingkat risiko bawaan, pengendalian, dan
deteksi menyangkut masing-masing asersi pada tingkat saldo rekening, bukan pada
laporan keuangan sebagai keseluruhan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap Pertimbangan
Tingkat Materialitas dan Risiko audit
Alasan diberlakukannya perilaku profesional yang tinggi pada setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik
terhadap kualitas jasa
yang diberikan
profesi, terlepas dari yang dilakukan perorangan. Bagi seorang auditor, penting untuk meyakinkan klien dan
pemakai laporan
keuangan akan
kualitas auditnya. Jika pemakai jasa tidak memiliki keyakinan
pada auditor, kemampuan para profesional itu untuk memberikan
jasa kepada klien dan masyarakat secara efektif akan berkurang.
Untuk menjalankan tugas secara profesional, seorang auditor harus membuat perencanaan sebelum melakukan proses
pengauditan laporan
keuangan,
termasuk penentuan tingkat materialitas dan risiko audit. Karena konsep materialitas dan
risiko dalam auditing berkaitan erat dan tidak dapat terpisahkan. Risiko adalah
ukuran ketidakpastian, sedangkan materialitas mengukur besarannya. Secara
bersama-sama, keduanya mengukur ketidakpastian jumlah dengan besaran tertentu. Seorang akuntan publik
yang profesional, akan mempertimbangkan material atau tidaknya informasi dengan tepat, karena hal ini berhubungan
dengan jenis pendapat
yang akan
diberikan. Jadi, semakin profesional seorang auditor, maka Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam laporan
keuangan akan semakin
tepat.
Berdasarkan jurnal “Analisis
Hubungan Antara Profesionalisme Auditor Dengan Pertimbangan Tingkat
Materialitas Dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan”.
Dari lima dimensi profesionalisme auditor, yaitu :
pengabdian terhadap profesi, kewajiban sosial,
kemandirian, keyakinan
terhadap
peraturan profesi dan
hubungan sesama profesi yang berhubungan signifikan
terhadap pertimbangan
tingkat materialitas, yaitu:
1)
Keyakinan terhadap peraturan profesi.
Sedangkan
dimensi Pengabdian
terhadap profesi, Kewajiban sosial, Kemandirian, dan Hubungan sesama profesi tidak mempunyai hubungan signifikan terhadap pertimbangan
tingkat materialitas.
Ini
diteliti oleh Rifki Muhammad peneliti yang berasal dari Yogyakarta (2008).
Berdasarkan
jurnal “Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Tingkat Materialitas Dalam
Proses Pengauditan Laporan Keuangan” dapat disimpulkan dari kelima variabel dimensi profesionalisme terdapat tiga dimensi
yang berhubungan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas, yaitu:
1) Pengabdian pada profesi
2) Kemandirian
3) Hubungan dengan sesama profesi
Sedangkan
dimensi kewajiban sosial dan keyakinan terhadap profesi tidak
mempunyai hubungan
signifikan terhadap tingkat materialitas.
Ini diteliti oleh
Marfin Sinaga peneliti yang berasal dari Semarang (2012).
BAB
IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan antara Profesionalisme Auditor dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko Audit. Pengaruh
tersebut di ukur dengan lima
dimensi,
yaitu Pengabdian terhadap profesi, Kewajiban sosial, Kemandirian, Keyakinan terhadap peraturan profesi dan hubungan sesama profesi.
Dari kelima dimensi tersebut yang memiliki pengaruh signifikan dengan Tingkat
Materialitas dan risiko antara lain:
1) Pengabdian
terhadap profesi
2) Kemandirian
3) Hubungan
dengan sesama profesi
Sedangkan
Kewajiban sosial dan Keyakinan terhadap peraturan profesi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko
Audit. Kesimpulan ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Marfin
Sinaga, 2012). Jadi,
dari hasil tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi profesionalisme seorang auditor maka akan semakin
tepat pertimbangan auditor
terhadap materialitas dan risiko audit dalam pengauditan laporan keuangan.
Berbeda
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Rifki Muhammad, 2008) yang
menyimpulkan dari lima dimensi hanya terdapat satu dimensi yang mempunyai
pengaruh signifikan terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko
Audit, yaitu :
1) Keyakinan
terhadap peraturan profesi
Sedangkan dimensi yang lainnya tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan
Risiko Audit.
0 komentar:
Posting Komentar